Ekspedisi 50 Tahun Lawalata

Dewasa kini, perubahan iklim masih menjadi persoalan mendunia yang kerap kali luput dari mata masyarakat. Namun, masyarakat adat tampil sebagai garda terdepan dalam menjaga kelestarian lingkungan. Peran mereka yang kerap terabaikan kini mendapat sorotan, karena kearifan lokal terbukti menjadi benteng alami melawan dampak perubahan iklim.

Melalui Ekspedisi Lawalata IPB University, dengan persiapan dan kajian yang matang, meringkas tuntas 3 wilayah kearifan lokal yang berperan sebagai penjaga iklim.

Pulau Buru, Maluku: Hukum Adat Penjaga Alam

Di Desa Waeflan, Pulau Buru, masyarakat adat masih memegang teguh sistem hukum adat yang mengatur perlakuan terhadap alam. Setiap pelanggaran terhadap kawasan keramat—hutan, sungai, atau tempat-tempat tertentu—dipercaya akan membawa kawalat atau musibah, bukan hanya bagi pelaku, tapi juga bagi seluruh komunitas.

“Kalau sembarang rusak tempat keramat, kita bisa kena musibah. Itu pesan dari leluhur,” ungkap seorang pemangku adat. Masyarakat di sana hidup dalam kesadaran kolektif bahwa merusak alam berarti mengganggu keseimbangan yang diwariskan turun-temurun.

Katingan Hulu, Kalimantan Tengah: Berladang Secara Arif

Di pedalaman Kalimantan, masyarakat adat Rantau Pandan masih menjaga hutan dengan cara-cara tradisional. Mereka melarang pembalakan liar dan menerapkan sistem tanam berpindah secara lestari. Bagi mereka, hutan bukan hanya sumber penghidupan, tapi juga bagian dari identitas dan spiritualitas.

Namun, perubahan iklim telah mengubah banyak hal. Pola hujan yang tak menentu mengganggu musim tanam, dan suhu ekstrem menyebabkan gagal panen. Ironisnya, wilayah adat yang mereka jaga justru terancam oleh proyek industri dan deforestasi yang memperparah krisis iklim.

“Kami sudah hidup ratusan tahun menjaga hutan ini secara turun-temurun. Tapi sekarang, udara jadi lebih panas, hujan datang tak menentu. Kami bingung, tapi kami tidak berhenti menjaga alam.” -Bapak Kepala Adat Rantau Pandan

Mentawai, Sumatra Barat: Hutan sebagai Ibu Kehidupan

Di Desa Pasakiat Taileleu, Kepulauan Mentawai, hutan adalah pusat kehidupan. Segala kebutuhan—pangan, obat, hingga bahan bangunan—diambil dari hutan. Tapi mereka mengambil seperlunya, tak lebih. Filosofinya jelas: hidup selaras, bukan menguasai.

Minimnya infrastruktur di wilayah ini tak membuat masyarakat menyerah. Justru, keterbatasan menjadi ruang bagi mereka untuk terus menjaga kelestarian hutan. Mereka tahu betul, ketika alam rusak, merekalah yang pertama kali merasakan dampaknya.

Mereka Menjaga, Kita Apa?

Tiga wilayah, tiga cerita, satu pesan: masyarakat adat telah lama menjadi penjaga bumi ini. Mereka tak butuh gelar ahli lingkungan atau teknologi canggih. Cukup warisan nilai dan rasa hormat pada alam. Ketika dunia sibuk mencari solusi teknologi untuk krisis iklim, mereka diam-diam telah mempraktikkan solusi paling hakiki: hidup berdampingan dengan alam.

Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah mereka bisa menjaga lingkungan, tetapi apakah kita bisa mendukung mereka? Dalam krisis iklim yang makin menggila, kita semua punya peran. Setidaknya, mulailah dengan belajar dari mereka.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top